Sang dalang dari kemelut

Drama-icon
Image via Wikipedia

Tersesat dalam kemelut. Itulah kegemaran masyarakat Indonesia sekarang. Kita menikmati saat-saat kita terjebak dalam kemelut. Kita menemukan diri kita menjadi ‘korban’ dalam drama kemelut. Kita menikmati perasaan yang mensugesti diri kita sebagai korban dari penindasan. Kita menangisi apa yang terjadi, mengkritiknya namun tak melakukan apapun atasnya. Alih-alih mencari jalan merubah situasi, kita lebih sering berikrar bahwa kita adalah korban tak berdaya…..Kita ‘menerima’ dan ‘menghayati’ peran kita sebagai korban.

Jadi, benarkah kita korban? Atau malah kita memilih untuk berperan sebagai ‘korban’ dalam kemelut yang kita alami?

Salah satu konsep transactional analysis yang cukup penting dalam psikologi adalah the drama triangle yang dicetuskan oleh Stephen Karpman. Konsep ini bisa menjadi alat yang mudah untuk memahami pola perilaku kita dalam kemelut. Konsep ini menyatakan bahwa dalam kemelut selalu ada tiga pihak. Ketiga pihak itu adalah korban/victim, penindas/penuntut/penjahat/persecutor/villain, dan pahlawan/penolong/hero/rescuer. Apapun kemelutnya, akan terbentuk persepsi tentang Si Kuat menindas Si Lemah, dan akan muncul pihak ketiga sebagai penolong Si Lemah.

Kita selalu mudah melihat segalanya dalam penyederhanaan berbentuk segitiga ini….terutama ketika kita (kalau berani jujur) berada sebagai pihak yang kalah. Bisa juga kita menggunakan segitiga ini untuk menunjukkan ketidakadilan, yang mana kita bis amenjadi pihak ketiga yang menjernihkan keadaan. Tapi, mungkin agak sulit untuk menempatkan diri kita menjadi ‘sang penindas’.

Namun seringkali yang kita gunakan adalah menempatkan diri sebagai si ‘korban’, entah disadari atau tidak. Ini karena memang menjadi yang lemah adalah lebih mudah. Menjadi yang lemah selalu menarik simpati, dan di sinilah paradoks psikologisnya: Si Lemah menarik simpati, dan karena itulah dia sebenarnya menjadi Si Kuat.

Bila ini yang terjadi, sejatinya kita bukan korban, tapi kita berperan sebagai ‘korban’.

Lihatlah banyak kemelut di sekitar kita saat ini. Bukankah sebenarnya kitalah yang lebih sering merekayasa kemelut? Bak sinetron, kita memposisikan diri dalam situasi yang ada sehingga kita adalah ‘korban’? Dan dengan demikian, kita mendapat justifikasi untuk berputus asa, berbuat bodoh, berbuat curang, dan segala tindakan tanpa prinsip lain. Kita kan korban, jadi gimana lagi…..

Mental macam begini membuat kita bukannya berdiri tegak dan mantap, dengan segala kepenuhan diri, melawan penindasan. Kita malah mengeksploitasi kemelut dan memainkan segitiga drama dalam situasi sesat tanpa arah. Kita menikmati peran menjadi ‘korban’. Bahkan, terkadang kita menikmatinya karena sebagai ‘korban’, kita mendapat legitimasi dan justifikasi untuk melabel orang lain sebagai Si Kuat yang Jahat dan Penindas. Ingat….. ada sebab di balik munculnya istilah air mata buaya dan serigala berbulu domba.

Sesungguhnya dalam banyak situasi drama triangle ini, ‘korban’ sesungguhnya punya kekuatan yang lebih besar. Kita bisa menarik perhatian, simpati, dukungan, kesamaan perasaan dan lain-lainnya, yang sesungguhnya membuat kita makin kuat. Kekuatan itulah yang bisa membuat kita merubah keadaan ke arah lebih baik….

atau…..

Kita bisa memilih menjadi ‘korban’, sehingga kita bisa mengeksploitasi kemelut untuk kepentingan kerdil kita sendiri. Bila demikian, apa benar kita adalah ‘korban’? Bukannya kita sesungguhnya dalang kemelut dan ‘sang penindas’ yang sesungguhnya?

 

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

27 thoughts on “Sang dalang dari kemelut

  1. hehehe.. kita semua hidup dalam kepalsuan… korban pun korban palsu… penjahat pun penjahat palsu… mungkin kita sendiri adalah palsu, tanpa kita sadari… hahahaha… ini pengandaian dasar teori kritis, bahwa segala sesuatu perlu dicurigai, karena tidak ada sesuatupun seperti apa yang tampak di depan mata…. menggelisahkan memang…

    1. Hehehe….yang sesungguhnya adalah power dynamic. Peran-peran itu ada dalam labelisasi dan interpretasi kognitif manusia. Kontingensi dalam power dynamic membuat peran-peran itu menjadi nisbi.

      Memahami ini mungkin akan membuat kita bisa berdamai dengan kegelisahan itu 🙂

      1. apakah kemampuan menyembunyikan diri dari tatapan orang lain (dan menjadi palsu) adalah suatu bentuk power?

        Saya teringat Machiavelli ketika ia bilang, “tidak penting orang itu baik atau tidak. Yang penting adalah ia terlihat baik oleh orang sekitarnya.”

      2. Hahaha…. ya jelas dong Za 🙂 Bahkan, seperti yang sudah dicontohkan Machiavelli, power memainkan impresi merupakan power paling penting dalam politik. Menyembunyikan diri kan soal bermain impresi dan memainkan persepsi orang lain. Itulah yang kerap terjadi dalam politik.
        Makanya, strategi ‘mulut manis’ adalah salah satu strategi politik paling terkenal, paling manjur dan masih tetap sakti sekalipun sudah digunakan sejak awal peradaban manusia. Bahkan ada yang mengatakan, pada prakteknya politik itu bukan soal kekuasaan, tapi soal public relation 😉 Pencitraan, itu istilah yang populer saat ini.

      3. hehehe.. lalu bagaimana konsistensi antara pencitraan dengan substansi? Ataukah distingsi ini tidak lagi diperlukan? Bukankah brand image harus sesuai dengan isi dari organisasi itu sendiri? JIka tidak bukankah itu hanya plain lies?

      4. Ini pertanyaan kritis dan sangat bagus untuk direfleksikan. Secara idealistik, memang pencitraan dan substansi harus sebangun. Namun dalam kenyataan praksis, jeda antara keduanya tak pernah hilang. Itulah yang mendasari konsep organizational learning dari Chris Argyris dan Donald Schon, yaitu refleksi dibangun dari espoused theory dan theory-in-use.

        Dari perspektif ini, kita bisa memahami mengapa image cenderung untuk selalu jauh lebih baik daripada substansi yang bisa sunnguh terealisasi. Dalam beberapa kasus, bahkan keduanya bisa sangat kontradiktif. Namun ini semua bisa terjadi karena konsumen/market yang mempersepsikan juga suka kontradiksi antar pencitraan dengan realitas.

        Inilah kenapa sesungguhnya ini soal power dan politik. Secara ideal moral, tak elok. Tapi secara teknis politik, ini sangat mungkin karena politik adalah soal kepentingan dan persepsi sosial. Pencitraan adalah espoused-theory, substansi riil adalah theory-in-use. Ketika keduanya inkonsisten secara ekstrim, itu akan sangat tidak efektif. Tapi, bila market politik yang ada adalah masyarakat yang sangat inkonsisten dalam dirinya sendiri; inkonsistensi citra dengan substansi justru akan sulit terhindarkan dalam tataran praksisnya 🙂 Terjadilah drama kemelut yang serasa tiada habisnya, karena sesungguhnya market menyukainya.

        Sayang memang, tapi demikian realitasnya. Indonesia merupakan contoh yang sangat jelas soal ini, mulai dari sinetron, pendidikan, agama hingga politik negara.

        What do you think?

      5. Saya setuju jika dikatakan, bahwa pada hakekatnya, selalu ada jarak antara realitas dan citra. Itu tampaknya sudah karakter ontologis dari realitas, sekaligus karakter epitemologis dari pengetahuan manusia.

        Yang tetap perlu diperjuangkan adalah bisnis sebagai pembangunan karakter. Maka upaya untuk terus secara konsisten memperbaharui isi organisasi sesuai dengan brand image yang ditampilkan ke publik tidak pernah boleh dihentikan. Ini adalah imperatif yang tidak bisa ditawar, walaupun kita sadar betul, persepsi dan realitas adalah dua konsep yang tidak bisa sepenuhnya menjadi satu.

        Para politisi perlu terus belajar mengenai hal ini: memperbarui diri terus menerus agar semakin dekat dengan citra yang ingin ditampilkan ke publik. Jika tidak kita hanya akan memperoleh para politisi maupun wakil rakyat yang berkualitas rendah, walaupun citranya keliatan wah. (baca kompas hari ini–18 April 2011)

      6. Betul sekali, upaya pencapaian titik temu keduanya adalah kesenantiasaan yang tak boleh berhenti. Ini kenapa ada pabrik rokok (bukan promosi hehe 🙂 ) yang punya motto menuju kesempurnaan. Kesempurnaan mungkin sulit dicapai, tapi patut diperjuangkan. Disinilah value dan karakter menjadi tak tergantikan.

  2. Situasi yang lucu dan menggelikan….. akan lebih baik tampil “APA ADANYA” dari pada “MAIN SINETRON”. Poin saya adalah manusia akhir-akhir ini lebih suka jadi aktor/ artis, sehingga lupa akan arti “MANUSIA” sesungguhnya. Apapun Sinetronnya Kenyataannya bohong belaka….. Saya masih ingat salah satu lagu jadul yang openingnya ” Dunia ini panggung sandiwara…..” Pas bukan? panggung sandiwara dipenuhi dengan aktor dan artis….. Ada baiknya kalau kita mulai belajar untuk jadi apa adanya…..

    1. Setuju, Glenn. Tapi itu merupakan tantangan besar di jaman dimana seringkalo indikasi lebih penting dari esensi. Ini bisa mempengaruhi kita semua, dan aku menawarkan tulisan ini sebagai bahan refleksi agar kita sendiri nggak lupa hehehe….

  3. wah seru nih pak, aq jadi ingat pernah baca buku (tapi lupa ehehehe : p ) tentang hasil survey yang bilang ada 3 kepribadian yang berbeda-beda saat kita berhadapan dengan teman, keluarga, dan pacar. karena peran yang berbeda saat menjalaninya ehehehehe…. kalau menurut pak James gimana ?

    1. Aku pikir itu bukan kepribadian, namun semata power relation yang terbentuk dalam keterkaitan antar peran saja. Dan itu tidak hanya tiga yang terkait dengan teman, keluarga dan pacar. Kita bisa punya beragam peran dalam relasi kita dengan siapapun. Lebih menarik lagi, dalam relasi dengan orang yang sama pun bisa terjadi perubahan peran.

      Namun, secara prinsip, ‘segitiga drama’ ini cenderung terbentuk sebagai konsekuensi dari balance-disbalance dalam relasi. Itu pendapatku, Len

      1. Apa mungkin kejadian yang di maksud Lenny adalah ID (Identity Disorder) yang definisinya adalah kepribadian manusia yang jumlahnya multiple dimana setiap kepribadian akan muncul sesuai event yang men trigger nya?

  4. hidup kan selalu di penuhi drama pak, jika melihat 3 posisi seperti ini sangat banyak yang mau menjadi “korban” seperti pada kasus-kasus di Indonesia.. malah yang benar jadi “salah”, dan di tangkap, sedangkan “korban” sebenarnya adalah penjahat..

    Seperti kamuflase untuk menjaga keamanan diri saja menurutku pak, sampai mereka berbuat seperti itu 🙂

    1. Benar, Janice, hidup dipenuhi drama. Saya sangat setuju itu.
      Sementara yang kemu sebutkan mengenai ‘korban’ dalam kasus-kasus di Indonesia, saya malah melihatnya bukan di tingkat ‘tinggi’ saja.
      Ini juga terjadi dalam keseharian di sekitar kita, misal dalam nama ‘kesetiakawanan’ dan ‘persahabatan’. Itulah kenapa di dalam tulisan, aku menggunakan kata “kita”, bukan “mereka”.

  5. Pertanyaan saya yang pertama pak, mengapa dengan menemui adanya ketiga peran tersebut kita bisa berdamai dengan kegelisahan ?. Kedua, apakah esensi dari belajar untuk apa adanya seperti yang diomongkan sama pak Glenn?

    1. Hehehe….ya karena kita jadi jujur dengan paradoks psikologis yang kita punyai. Dengan demikian, kita bisa mengurangi kekecewaan ketika merasa orang lain munafik, karena dengan berefleksi ini kita jadi tahu bahwa kita juga sangat mudah melakukan kemunafikan tersebut. Ini, kemudian menuntun pada penerimaan diri dan penerimaan atas ketidaksempurnaan manusia 🙂

      Kalau itu sudah, jadilah apa yang disebut ‘apa adanya’. Belajar untuk menjadi apa adanya itu sulit sekali lho.
      Apa adanya itu penting bukan untuk jadi sok jujur bagai malaikat bagi orang lain, melainkan apa adanya terhadap diri sendiri. Sederhananya, menjadi jujur pada diri sendiri. Itu kan sulit 😉

      1. saya setuju sekali pak, menjadi apa adanya itu sulit sekali, apalagi karena banyaknya tuntutan yang diberikan kepada diri kita terkadang membuat kita tidak menjadi apa adanya dalam dunia ini, karena dunia ini merupakan panggung sandiwara

      2. Tapi, kenapa ya pak dalam kenyataannya ketiga peran itulah yang kita gunakan untuk survive dalam suatu organisasi? karena yang pastinya terjadi adalah kita memainkan ketiga peran itu sehingga mendapatkan apa yang diinginkan.

      3. Ya memang begitu kenyataannya, Nielsen. Pertanyaanmu kan berangkat dari asumsi bahwa ketiga peran itu jelek, tidak seperti harapan idealisme hehehe….
        Masalahnya adalah ‘kecintaan’ kita pada idealisme yang berlebihan bikin kita justru jadi tidak jujur pada diri sendiri. Ini bikin kita menjadi super idealis yang tidak menginjak bumi, bagai ‘malaikat penolong’. Atau sebaliknya, kita tanpa idealisme sama sekali, dan kita menjadi sang ‘korban’ yang sebenarnya sangat ‘berkuasa’.

        Yang kutawarkan adalah kita mencoba jujur menerima bahwa kenyataannya kita bermain di tiga peran itu. Yang menjadi masalah adalah apabila kita tidak menyadari bahwa kita bisa bergerak dalam tiga peran itu, dan bagaiman memainkan peran itu dengan seimbang dan bertanggunjawab. Gitu aja.

  6. keseharian yang lain pak selain persahabatan dan pertemanan contohnya apa pak?
    Menggunakan kata mereka menunjukkan bahwa pelaku lbh dari 1 pak..
    Cuma yang menarik lagi pak, klu orang selalu menujukkan sikap seperti itu apakah dia mencari perlindungan pak? Ato mencari rasa di dikasihani? 🙂

    1. Dalam keluarga, anak kecil kan sudah sering melakukan ini dengan orangtuanya. Kondisi ini misalnya: Papa jahat, lari ke Mama yang baik aja 🙂
      Murid dengan guru favorit yang ‘best friend forever’ ngerumpi soal guru yang jahat bagai iblis, itu juga bisa 🙂 Banyaaakkk sekali, Janice. Tinggal mau jujur atau tidak aja.

      Mencari perlindungan atau dikasihani kan intinya sama saja, Janice. Semuanya upaya politik untuk memainkan power. Jadi bisa jadi bukan sekadar melindungi diri, bisa jadi malah keinginan menguasai hahaha 😉

      1. BTW, ‘kita’ juga lebih dari satu. Aku menggunakan ‘kita’ untuk mengajak kita lebih mengkritisi diri sendiri daripada orang lain (‘mereka’). Di negeri ini, terlalu banyak yang pintar menganalisa dan mengkritisi orang lain, tapi lupa mengkritisi dirinya sendiri hehehe….. 🙂

  7. Well, I don’t have much comment to those writings. I just can say, that’s all about politic. There is no right or wrong, since right or wrong were so relatively adjustable.
    Let it flow and give it any necessary additional variable to attain the organizational goals.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s