Apa yang paling mudah kita lakukan dalam keseharian hidup?
Sebelum anda bingung menebak-nebak, lalu mulai berdiskusi bahwa yang disebut mudah itu relatif untuk setiap orang……. sebaiknya saya jawab dulu!
Jawabannya adalah kebiasaan atau habit.
Siapapun orangnya, yang mudah untuk dilakukan pasti adalah hal yang biasa dia lakukan. Karena sesuatu yang biasa dilakukan pasti sesuatu yang biasanya tidak perlu lagi diingat, dan tidak perlu dipikir saat dilakukan. Biasanya juga lebih merupakan reflek yang sudah menjadi tingkahlaku alami sehari-hari.
Sama juga dalam bisnis, proses kerja akan jadi efektif ketika yang dikerjakan adalah kebiasaan. Lebih tepatnya, ketika yang dikerjakan adalah kebiasaan yang tepat. Kebiasaan yang tepat tentunya adalah kebiasaan yang mebuat pekerjaan menjadi produktif dalam waktu yang diharapkan. Pendek kata, kebiasaan yang positif secara bisnis, dan membawa hasil langsung atau dampak tak langsung yang positif pula pada bisnis.
Terbentuknya kebiasaan yang positif ini, sangatlah terpengaruh oleh desain lingkungan kerja tempat bisnis itu dijalankan. Apabila lingkungan kerjanya membatasi interaksi, maka tentunya kebiasaan komunikasi terbuka dan cepat merespon rekan kerja bakal sulit dibentuk. Bila ingin mengurangi birokasi, tapi lingkungan kerja dipenuhi dengan loket-loket dan meja-meja penuh dengan arsip dan beragam peralatan yang sangat prosedural seperti stempel dan sebagainya, ya tidak akan pernah terbentuk kebiasaan kerja yang lebih sederhana dan cepat. Contoh lain yang kita kerap temui adalah ruang kerja yang kacau balau dan jarang ditata, tidak akan membuat orang-orang jadi menghargai dan menjaga kebersihan serta kerapian.
Sebaliknya, desain fisik lingkungan kerja justru bisa membentuk kebiasaan, apabila memenuhi dua prinsip ini:
- Lingkungan kerja disertai panduan visual jelas yang harus diikuti. Panduan ini harus sederhana dan mudah dipahami, dan dipasang pada area kerja yang digunakan setiap hari dan tidak bisa dihindari. Contoh ilustrasi gambar anak tangga MRT Jakarta di atas bisa jadi contoh bagaimana membentuk kebiasaan menggunakan anak tangga untuk dua arah. Ini juga bisa kita temui di pintu masuk MRT yang mengatur jalur penumpang yang mau masuk, dan yang akan keluar. Adanya panduan visual ini meng’edukasi’ pengguna agar merasa sungkan bila tidak mengikuti.
- Semua elemen fisik dan visual yang mendorong terbentuknya kebiasaan kerja yang dimaksud harus ada, dan semua elemen fisik dan visual yang mengalihkan atau bahkan berlawanan dengan kebiasaan yang akan dibentuk harus disingkirkan. Satu contoh sederhana, bila kita ingin kebiasaan meeting menjadi fokus pada data dan efektif serta efisien dari segi waktu, maka gunakan meja tinggi dan pastikan tidak ada kursi, sehingga pasti tidak ada pilihan kecuali fokus pada meeting yang efektif dan efisien. Lalu pastikan meja meeting dikelilingi display data yang jelas, bukan tumpukan berkas laporan, sehingga tidak bisa tidak terbentuk kebiasaan untuk memperhatikan data.
OK, sebenarnya masih ada beberapa metode lebih jauh, namun secara umum kedua hal diatas, apabila digunakan, akan membentuk kebiasaan pada orang-orang yang bekerja dalam lingkungan tersebut. Sederhana, dan efektif!
So, let’s go for simplicity!
Sekedar meniru metode tanpa memahami esensinya terkadang justru memperumit keadaan.
Contoh yang saya lihat sendiri bagaimana metode edukasi yang digunakan oleh MRT Jakarta diterapkan di salah satu perusahaan multinasional di Jawa Timur.
Rambu-rambunya sudah ada, tetapi tidak berfungsi maksimal. Karena, si pembuat rambu-rambu ‘mengedukasi’ para pengguna untuk menyalahi rambu-rambu tersebut.
Alhasil, alih-alih mengedukasi, rambu tersebut malah jadi tak berarti.
Betul, rambu atau instrumen apapun adalah alat pengkondisian. Tapi namanya kan alat, dan alat itu berfungsi apabila digunakan. Dan untuk membuat terjadi penggunaan, tentu harus diterapkanlah penggunaan tersebut. Bila tidak, ya alat itu sama saja tidak ada, dan tidak ada habit baru yang terbentuk.